pemerintahan imam mahdi

pemerintahan imam mahdi
Ciri -ciri pemerintahan akhir zaman adalah sebagai berikut:
Pemerintahan imam Mahdi as adalah sebuah pemerintahan yang global dan universal. Bukan se b uah pemeritahan yang dibentuk dalam sebuah wilayah atau kawasan tertentusaja, seluruh dunia akan berada di bawah kekuasaan pemerintahan beliau.
Hal ini dapat dipahami melalui riwayat / hadis yang tidak sedikit jumlahnya. Di samping itu ayat al-Quran mengatakan:
اِنَّ الْأَرْضَ يَرِثُها عِبادِىَ الصَّلِحُونَ
bahwa dunia akan diwarisi oleh hamba-hamba tuhan yang saleh beserta beberapa ayat yang lain sudah menjelaskan bahwa pada suatu zaman nanti dunia akan dipimpin oleh hamba-hamba yang saleh.
Salah satu ciri paling mencolok dari pemerintahan yang dimaksud adalah pemerintahan beliau adalah pemerintahan tunggal dan tak memiliki saingan. Sekarang ini kita amati, dunia dikuasai oleh berbagai pemerintahan dan kekuasaan, nantinya pemerintahan-pemerintahan tersebut mau tidak mau harus menyingkir lalu muncul sebuah pemerintahan tunggal, dan itu di bawah kekuasaan Imam Mahdi as. Itulah keyakinan paten yang dianut oleh kita umat syi'ah.
Ciri berikutnya adalah menyebar dan menggelobalnya ajaran Islam di seluruh penjuru dunia, sehingga tiada satu kampung atau pelosok manapun yang darinya tidak terdengar suara azan shalat.
Soal: Apakah agama-agama seperti Yahudi atas Kristen akan tetap eksis di zaman tersebut? Hal ini adalah sebuah permasalahan lain yang sekarang ini tidak kita bahas. Yang kita bahas sekarang ini adalah, bahwa Islam akan tersebar luas ke seluruh penjuru dunia. Dari riwayatpun tidak terlihat ada sesuatu yang patut diragukan. Kita sekarang mengetahui, berapa jumlah muslim dan non muslim di dunia. 1/6 penduduk dunia adalah pemeluk agama Islam sedang selainnya adalah non muslim.
Ala kulli sekarang non muslim mayoritas dan sedang memimpin dunia, tapi nanti umat muslim akan memimpin dunia dengan dikomandoi oleh Imam Mahdi as.
Ciri ketiga adalah kita lihat dari dari program kerja da acuan utama pemerintahan tersebut, salah satu dari hal-hal itu adalah memerangi dan melenyapkan kezaliman secara intensif dan serius dari muka bumi. Beliaupun dalam tugas yang satu ini akan berhasil dan sukses. Hal ini secara gamblang telah dijelaskan secara transparan dalam berbagai riwayat. Tiada kezaliman dari uknom masyarakat terhadap oknum yang lain, tidak dari pemerintah kepada masyarakat, juga tidak pula terjadi kezaliman dari satu pemerintah kepada pemeritahan yang lain.
Ciri keempat adalah, imam akan menyebar-luaskan dan menegakkan keadilan, seluruh lapisan masyarakat akan merasakan keadilan universal tersebut, tiada person yang menzalimi person yang lain, sebagai sebuah contah sebagaimana terdapat dalam riwayat, seorang suami tidak akan menzalimi diri, anak-anak dan istrinya, begitulah semua bertindak adil.
Kalau kita mau teliti, dalam setiap riwayat yang berkaitan dengan Imam Mahdi kerap kali kita berhadapan dengan ungkapan:
«يَمْلَأَها قسطأ و عدلأ كما ملئت ظلمأ و جوراً»
. " dia akan memenuhi dunia dengan keadilan sebagaimana telah disesaki oleh kezaliman dan kelaliman.
Ciri yang terakhir adalah Islam akan masuk di seluruh cela dan liku-liku kehidupan masyarakat, artinya hukum Islam akan diterapkan di seluruh sisi kehidupan mansuaia dan itu di seluruh penjuru dunia, dengan ungkapan yang lebih gamblang lagi pengaturan seluruh dunia akan teralisasi dengan hukum dan undang-undang Islam. Di zaman itu, permasalahan dunia; ekonomi, politik sosial, dan kehiduan….. secara keseluruhan akan menggunakan sistem dan undang-undang Islam. Ini merupakan hal terpenting yang membuatnya terbentuknya pemerintahan Imam Mahdi as di akhir zaman.

Category: 0 komentar

Inspired Knowledge and Divine Governance: The Mahdi's "Helpers"

Inspired Knowledge and Divine Governance: The Mahdi's "Helpers
The primary focus of Chapter 366 of the Futuhat is the distinctive set of spiritual qualities
and capacities marking this particular spiritual stage (manzil)--characteristics which Ibn 'Arabi
finds symbolized in the various hadith concerning the eschatological role of the Mahdi and his
"Helpers" or "Ministers,"1 but which he insists are already realized by those saints (awliya') who
have attained this degree of spiritual realization, who have already reached the "end of time." In
a broader metaphysical perspective, as he indicates allusively in the poem introducing this
chapter, all those characteristics are in fact essential aspects of the ongoing divine governance of
this world in its microcosmic, individual human dimensions, especially in the spiritual judgment
or authority (walaya) of the saints as it is realized inwardly or, more rarely, manifested outwardly
and officially in the functions of religious judges or in the case of the Prophet (who preeminently
combined the roles of the Mahdi and his Helpers).
The two principal, complementary aspects of Ibn 'Arabi's treatment of this stage and its
associated functions are clearly relevant to the spiritual life of every individual. The first is the
question of divine "communication" (in all its manifestations, but with special attention to the
central role of the Koran and the "heritage" of the Prophet Muhammad) and the decisive role of
each person's unique and radically varying receptivity or sensitivity to that deeper dimension of
reality. The second is the "application" of that communication--which, for Ibn 'Arabi, obviously
includes, but is by no means limited to, the familiar external forms of Islamic law and
tradition--in guiding our spiritual and communal life. Especially striking, in regard to this latter
point, are the Shaykh's recurrent, sometimes pointed allusions to the distance separating the
historical, limited conception of the Sharia2 shared by many of the 'ulama' in the popular sense of
that term (i.e., the Islamic jurists and theologians) and the deeper, more challenging perennial
reality of its demands and presuppositions as understood by the awliya', whom Ibn 'Arabi
consistently regards as the true "knowers" and "authorities" (wulat) of the Community.
The treatment of these questions in this chapter is often subtle and highly allusive, no
doubt partly because of the potentially controversial nature of Ibn 'Arabi's broader
understanding--largely only implicit in this chapter--of the relations between the inspiration and
spiritual authority underlying the "judgments" of the Prophet, saints, and the mass of jurists and
theologians "learned in the external forms" ('ulama' al-rusum). As a result, it provides a
remarkable illustration of his typical methods of esoteric writing, in which each reader's
perceptions of the apparent content, aims and unifying structure of the work will necessarily
differ radically according to his own particular intentions and sensitivities. At the same time, it
constitutes an excellent introduction to the principles underlying Ibn 'Arabi's complex
understanding of the practical interrelations between spiritual realization and the historical forms
of Islamic tradiition--a perspective which clearly transcends the usual stereotyped (and often
polemic or apologetic) conceptions of those questions.3
There should be no need to stress the wider significance of each of these issues
throughout Ibn 'Arabi's writings. But what lends this chapter its special impact and dramatic
interest are its primary focus on the experiential sources of Ibn 'Arabi's key insights, his frequent
autobiographical remarks (including a number of references to his own self-conception of his
role as the unique "Seal of Muhammadan Sainthood") and colorful anecdotes based on his
encounters with other Sufis--illustrative materials that provide an essential phenomenological
complement to the better-known metaphysical and doctrinal aspects of his teaching, while at the
same time pointing to some of its indispensable practical presuppositions.

Category: 0 komentar

kepemimpinan imam mahdi

[[kepemimpinan imam mahdi]]
Dalam hadist yang disebutkan di atas Imam Mahdi akan memimpin selama 7 atau 8 atau 9 tahun. Semasa kepemimpinannya Imam Mahdi akan membawa kaum muslimin untuk memerangi kedazliman, hinga satu demi satu kedzaliman akan tumbang takluk dibawah kekuasaanya.
Kemenangan demi kemenangan yang diraih Imam Mahdi dan pasukannya akan membuat murka Raja kedzaliman (Dajjal) sehingga membuat Dajjal keluar dari persembunyiannya dan berusaha membunuh Imam Mahdi serta pengikutnya.
Kekuasaan dan kehebatan Dajjal bukanlah lawan tanding Imam Mahdi oleh karena itu sesuai dengan takdir Allah, maka Allah SWT akan menurunkan Nabi Isa dari langit yang bertugas membunuh Dajjal. Imam Mahdi dan Nabi Isa akan bersama-sama memerangi Dajjal dan pengikutnya, hingga Dajjal mati ditombak oleh Nabi Isa di "pintu Lod" dalam kompleks Al-Aqsa.

Category: 0 komentar

Nabi Dan Rasul Terakhir & Al Mahdi: Siapakah Dia Sebenarnya

Nabi Dan Rasul Terakhir & Al Mahdi: Siapakah Dia Sebenarnya ?
Masalah ini sebenarnya penyakit umat beragama ketika mulai dihinggapi ilusi tentang kenabian dan kerasulan tanpa suatu pemahaman yang utuh. Kecuali semata-mata gejolak nafsunya sendiri yang merefleksikan niat-niat awalnya ketika menempuh jalan keruhanian.



Peristiwa aku mengaku nabi dan rosul bukan hal baru dalam sejarah Umat Islam, bahkan di setiap agama pun ada. Namun, dalam lebih dari dua abad ini kebanyakan muncul dikalangan Umat islam. Yang paling menohok karena disokong oleh kekuasan politik dan militer era kolonialisme adalah pengakuan Mirza Ghulam Ahmad pendiri Ahmadiyyah yang mengaku nabi dengan sokongan Inggris sebagai promotornya.



Selama bertahun sampai berabad, dengan berbagai argumentasi yang kuat maupun yang lemah, bahkan setelah kolonialisme tumbang, masalah Ahmadiyyah tetap hadir bagai duri dalam daging Umat Islam. Ahmadiyyah bagi Umat Islam kebanyakan bagaikan crypto yang disisipkan, virus yang disisipkan untuk kemudian dibiarkan berkembang dengan segala dilema yang dihadapinya, dan tentunya sewaktu-waktu dimanfatkan untuk berbagai tujuan tanpa memperhatikan keselamatan pemeluknya maupun keselamatan Umat Islam lainnya. Dan tentu yang paling merasakan dampaknya,pada akhirnya adalah kalangan Umat Islam sendiri baik yang berada dalam kelompok Ahmadiyyah maupun yang lainnya. Saya mempublikasikannya belakangan ini hanya sekedar menambahkan pengetahuan kepada diri saya maupun orang lain supaya pemahaman kita tentang kenabian dan kerasulan memberikan suatu gambaran yang utuh tentang makna dan arti dari ayat-ayat al-Qur’an yang menegaskan berakhrinya zaman atau era kenabian dan kerasulan seperti diungkapkan dalam QS 33:40 berikut yang menjadi dasar penulisan artikel ini. Benar atau tidaknya silahkan anda baca dan renungkan dengan potensi pikiran dan pemahaman Anda sendiri.

Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu., tetapi Dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. dan adalah Allah Maha mengetahui segala sesuatu. (Q33:40)





Dia adalah Rasul Allah dan Penutup Para Nabi. Hal ini menjelaskan bahwa Rasul dalam pengertian di atas berhubungan dengan adanya sesuatu yang disampaikan kembali yaitu Firman-firman Tuhan (yang berasal dari nabi dan Rasul sebelumnya). Dalam Bahasa Arab seringkali Rasul dikatakan sebagai orang yang menjadi pembimbing kaumnya dan mempunyai risalah. Risalah yang dimaksud bukan saja secara tertulis namun juga yang didasarkan atas Pengetahuan tentang Tuhan itu sendiri dari akhlak yang mulia maupun dari kedalaman jiwa murninya berdasarkan Daya dan UpayaNya dengan kehambaan dalam adab Aslim dengan Islam (tertunduk dan berserah diri) yang lurus.



Ia sebagai Rasul pun akhirnya menerima Risalah dari pemahaman yang sempurna tentang Asma, Sifat dan Perbuatan-Nya secara “Ummi“ dan “Yatim Piatu“ hanya dengan bimbingan Jibril yang mewakili aktualitas Pengetahuan Tuhan sendiri yaitu Tauhid. Jadi tidak ada bantuan lain selain dario Allah melalui Jibril dan tidak ada refensi yang digunakan oleh Muhammad sehingga ia mandiri dan Ummi dari intervensi pihaklain ketika memahami tanda-tanda Pengetahuan Tuhan. Pengertian Rasul diatas dlam QS 33:40 bagi Muhammad tidak terlepas dari kenabiannya yang menjadi penutup. Jadi, kenabian dan kerasulan yang berhubungan dengan Pengetahuan Tuhan yang disampaikan kepada Muhammad secara mandiri berhenti dalam konteks paling mendasar yang berhubungan dengan “Prinsip-prinsip Dasar Kehidupan” yang disampaikan dan telah disempurnakan bagi semua makhluk supaya mempunyai pedoman hidup.



Yang dimaksud pada akhirnya adalah Al Qur’an sebagai Kitab Wahyu, sebagai Wacana Fundamental bagi semua manusia (Dzikrul Lil ‘Aalamin, Mukminun). Sehingga sebutan Rasulllah melekat kepada Nabi Muhammad SAW dengan akhlak al-Qur’an. Era penulisan risalah setelah Al Qur’an dibakukan atas petunjuk langsung Nabi Muhammad SAW kepada tim penyusunnya, selanjutnya hanyalah sekedar tafsiran saja, atau penjabaran dari Risalah yang disampaikan Muhammad SAW sebagai Utusan Tuhan yang terakhir. Jadi, ketika Tuhan berfirman dengan QS 33:40 diatas, Dia memerintahkan Muhammad SAW untuk menutup dan mendekonstruksikan zaman kenabian dan kerasulan menjadi zaman baru yang tidak lain adalah awal lahirnya Peradaban Islam yang kelak akan berpengaruh di sepanjang zaman meskipun kemasannya sudah dipoles disana-sini.



Firman itu juga akhirnya membuka realitas baru dengan lahirnya Islam sebagai Agama dan Peradaban Dunia dimana semua kenyataan hidup dikembalikan kepada kemampuan yang ada pada manusia dengan dzikir, fikir dan ikhtiarnya guna memahami fenomena kehidupan serta kemungkinan-kemungkinan untuk meraih arti dan makna kehidupan dengan kualitas al-Qur’an (kualitas yang digambarkan sebagai kualitas akhlak muhammad) dimana ilmu pengetahuan yang lurus dan terverifikasikan harus diterapkan sebagai suatu sarana mencapai keselamatan dunia dan akhirat. Kelak ketika hal ini benar-benar dilakukan oleh Umat Islam, dimanapun juga, maka akan lahir era keemasan Islam baik sebagai “Gaya Hidup“ maupun “Peradaban“ dengan seni, sains, teknologi dan relijiusitas yang mumpuni, yang fondasinya kokoh, sandarannya kuat, dan tujuannnya jelas yaitu mencapai ridhoNya.



Karena itu, meskipun ayat diatas menyebutkan berakhirnya era kenabian namun ia juga menetapkan berakhirnya era kerasulan karena Nabi dan Rasul dalam diri Muhamad SAW menjadi satu dengan sempurna. Tak ada lagi pengetahuan lain bagi manusia setelah Rasulullah sebagai sebutan Nabi dan Rasul untuk menyampaikan Risalah Wahyu.



Wahyu-wahyu Tuhan sendiri sampai detik ini masih berkeliaran, namun tak ada Wahyu baru karena secara mendasar Wahyu-wahyu Elementer (BACA: Bilangan dan Huruf Abjad) untuk memahami segala sesuatu telah disempurnakan di zaman Muhammad SAW menjadi suatu ungkapan Wahyu yang mempunyai arti literal maupun arti yang lebih halus lagi, arti lahir dan arti batin, yang mencakup awal dan akhir semua pengetahuan manusia yang sejatinya kembali kepada diri sendiri (simak QS 57:3 dan QS 67:3-4).



Sebagus apapun orang menulis sebuah risalah dari pemahamannya yang artifisial, namun risalahnya tak lebih dari tafsiran Al Qur’an dengan sistem bilangan dan huruf yang itu-itu saja. Maka, siapa pun yang telah merampas jubah Kesombongan Allah yang telah memberikan Risalah Kepada Muhammad SAW dengan ISLAM yang sempurna karena formalisasinya dirumuskan berdasarkan kenyataan tentang kehidupan, maka ia akan berada dalam ancaman dari-Nya dengan asma-Nya Yang Maha Menghinakan. Dan siapapun yang sesudah Muhammad SAW mengaku-aku menjadi Nabi maupun rasul, ia tidak lebih dari nabi dan rasul palsu, yang tersesat karena tertipu daya oleh ego dirinya yang merusak.

Category: 0 komentar

al mahdi

almahdi
Dan datanglah dari ujung kota, seorang laki-laki dengan bergegas-gegas ia berkata: “Hai kaumku, ikutilah utusan-utusan itu”. Ikutilah orang yang tiada minta Balasan kepadamu; dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS 36:20-21)

Seperti halnya mentari yang tak pernah menagih imbalan kepada semua makhluk atas siraman cahayanya, oksigen, air, udara, tanah, dan semua unsur pembangun kehidupan, yang tak pernah juga meminta imbalan, maka ikutilah orang yang mengajarkan dengan petunjuk Ilmu Pengetahuan yang lurus, Shirathaal Mustaqiim, dengan bimbingan yang benar tanpa meminta imbalan.

Merekalah hamba-hambaNya yang sejati, merekalah al-Mahdi yang sesungguhnya. Dan mereka bisa jadi, Anda, anda , anda dan siapa saja yang menetapi jalan keikhlasan dengan yaqin, istiqomah, syabar, syukur, dan tentunya berkesadaran atas CintaNya bagi semua makhluk, Dia – Allah, Yang Maha Pengasih dan Maha Pengampun.

Apa arti sesungguhnya kata “al-mahdi“ yang sering diaku-aku oleh banyak manusia yang keliru memahami istilah dan nama tersebut?

Menurut Syekh Muhyidin Ibnu Arabi dalam kitab Futuhat al-Makkiyah bab 366 (referensi yang mengulas hal ini silahkan donlot ulasan karya James Morris mengenai hal ini di http://www.ibnarabisociety.org/articlespdf/sp_mahdi.pdf), yang banyak dijadikan bahasan para pemikir orientalis maupun tasawuf, kata Al-Mahdi tidak ada di dalam al-Qur’an sebagai suatu nama. Namun dalam bentuk asalnya adalah pasif partisipel dari kata kerja “hada” (artinya “memberi arah atau bimbingan yang benar , di jalan yang benar’). Secara harfiah al-Mahdi berarti “orang yang terbimbing dengan benar“. Dalam AQ, arah yang benar tidak lain adalah menuju dan sampai kepada Allah, bersama Allah, dengan daya dan upaya Allah, dan dengan Pertolongan serta Perlindungan Allah dengan Berserah Diri alias Islam. Tidak ada kehendak “aku sebagai makhluk berkekuatan“ di dalam proses perjalanan tersebut, yang ada adalah kehambaan mutlak dengan Islam.

Meskipun bentuk akar kata “hada” dijumpai di AQ hampir 330 kali, tapi bentuk kata “al-Mahdi“ tidak ada dalam al-Qur’an. Meskipun di beberapa hadits yang masih diperdebatkan al-Mahdi sering muncul sebagai sebuah “nama“ kehormatan atau gelar. Namun, makna dan artinya sesungguhnya menunjuk kepada makna biasa yang menjelaskan sosok yang spiritual yaitu yang “memperoleh bimbingan yang benar“, yang telah menerima secara aktif dan mencerap tataran isyarat Ilahiyah dalam kehidupan yang paripurna.

Bahkan dalam banyak hal penerima itu sendiri sebagi “al-Mahdi“ merepresentasikan Kehidupan dalam seluruh tatanan realitas karena cerapannya mewakili pengalaman Isra dan Mi’raj Muhammad SAW. Namun, tentu saja, aktualitasnya berdasarkan potensi-potensi dasarnya yang sesuai dengan ruang-waktunya, sunnatullahNya, dan tentunya berbeda dengan pengalaman Nabi Muhammad SAW di zamannya.

Dalam kenyatannya yang umum, yang dimaksud al-Mahdi adalah Umat Islam yang patuh pada perintah dan larangan Allah, serta mengikuti sunnatullrasul dengan taqwa. Jadi, apa yang disebut al-Mahdi secara umum sebenarnya adalah Umat Islam yang patuh pada perintah dan larangan-Nya sebagai Pewaris Pengetahuan Tauhid melalui washilah Nabi Muhammd SAW. Karena itu, adalah kemustahilan kalau al-Mahdi justru menyimpang dari ajaran Islam dimana Shalat merepresentasikan Namaz, Miraj, Iman, Islam dan Ihsan sebagai penyaksian dan aktualitas Jamal dan Jalal Allah dengan syahadat :

Category: 0 komentar

ciri imam mahdi

ciri2 imam mahdiTidak ada seorang pun dimuka bumi ini yang mengetahui tentang Imam Mahdi dan ciri-cirinya , kecuali Rasulullah SAW, karena Rasululah dibimbing oleh wahyu. Oleh karena itu bagi kita sebaik-baiknya tempat untuk merujuk tentang perkara ini adalah apa yang baginda Rasulullah katakan dalam hadist-hadistnya sebagai berikut:

Telah bersabda Rasulullah SAW:
“ Al-Mahdi berasal dari umatku, berkening lebar, berhidung panjang dan mancung. Ia akan memenuhi bumi ini dengan keadilan dan kemakmuran, sebagaimana ia (bumi ini) sebelum itu dipenuhi oleh kezhaliman dan kesemena-menaan, dan ia (umur kekhalifahan) berumur tujuh tahun. (HR. Abu Dawud dan al-Hakim) ”

Telah bersabda Rasulullah SAW:
“ Al-Mahdi berasal dari umatku, dari keturunan anak cucuku. (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, dan al-Hakim) ”

Category: 0 komentar

ciri2 imam mahdi

ciri2 imam mahdi
Tidak ada seorang pun dimuka bumi ini yang mengetahui tentang Imam Mahdi dan ciri-cirinya , kecuali Rasulullah , karena Rasululah dibimbing oleh wahyu. Oleh karena itu bagi kita sebaik-baiknya tempat untuk merujuk tentang perkara ini adalah apa yang baginda Rasulullah katakan dalam hadist-hadistnya sebagai berikut:
Telah bersabda Rasulullah ;
Al-Mahdi berasal dari umatku, berkening lebar, berhidung panjang dan mancung. Ia akan memenuhi bumi ini dengan keadilan dan kemakmuran, sebagaimana ia (bumi ini) sebelum itu dipenuhi oleh kezhaliman dan kesemena-menaan, dan ia (umur kekhalifahan) berumur tujuh tahun. (HR. Abu Dawud dan al-Hakim)
Telah bersabda Rasulullah ;Al-Mahdi berasal dari umatku, dari keturunan anak cucuku. (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, dan al-Hakim)

Category: 0 komentar

The Sunni Books on the Characteristics of the Mahdi

The session began on time at Dr. Fahimi's house. Dr. Fahimi welcomed the group and without wasting much time formulated his question with a brief introduction outlining the problem as he saw it.
Dr. Fahimi: The personality of the Mahdi in the Shi'i traditions is prominent and clear. However, in the Sunni traditions it is mentioned briefly and that also with much ambiguity. For example, the story of his occultation which is recorded in the majority of your traditions, and which is regarded as the fundamental aspect of his attributes, is entirely absent in our traditions. The promised Mahdi in your hadith has different names such as Qa'im, Master of the Command and so on, which, in our sources, is lacking and he is mentioned only by one name, that is, Mahdi. More particularly, the Qa'im is totally missing in our hadith. Do you regard this as something normal, or do you see a problem with such an absence?
Mr. Hoshyar: Apparently, the reason could be that during the Umayyad and 'Abbasid periods the subject of Mahdiism had assumed a political dimension. As such the recording and dissemination of the traditions about the promised Mahdi, especially the signs of his appearance and all the details dealing with his occultation and revolution, was suppressed. The rulers were extremely fearful of the spread of the hadith about the occultation and subsequent emergence of the Mahdi. They were certainly sensitive about the terms 'occultation', 'rise', and 'insurrection'.
If you refer to the historical sources and study the social and political conditions that prevailed under the Umayyad and the 'Abbasid caliphate, you will agree with my explanation as to why such information was suppressed by these caliphs and their administrators. In this short time we cannot go into any detail to investigate the major events of the period. However, to prove our point we have to direct our attention to two important issues:
First, since the story of Mahdiism had deep religious roots and since the Prophet himself had given the information that when disbelief and materialism become widespread and injustice and tyranny become the order of the day, the Mahdi will rise and will restore the pure religion and ethical order. It was for this reason that Muslims always regarded this prophecy as a source of great consolation and awaited it to be fulfilled. Under adverse conditions when they had lost all hope for the restoration of justice, the prophecy was even more in circulation, and those who sought reform, including those who had the ambition to abuse the simple faith of the people, took advantage of this prediction.
The first person who took advantage of the people's faith in Mahdiism and its religious underpinnings was Mukhtar. Following the tragic event of Karbala in 61 AH/680 CE, Mukhtar wanted to avenge the martyrs of Karbala and overthrow the Umayyad government. But he realized that the Hashimites and the Shi'is had lost hope in seizing the caliphate for themselves. Consequently, he saw the belief in Mahdiism as the only way to awaken the people and make them hopeful. Since Muhammad b. Hanafiyya's name and patronymic were the same as that of the Prophet (peace be upon him and his progeny) (this was one of the recognized signs of the Mahdi) Mukhtar decided to seize the opportunity and introduced Muhammad b. Hanafiyya as the promised Mahdi and himself as his vizier and envoy. He told the people that Muhammad b. Hanafiyya was the promised Mahdi of Islam. At the time when the oppression and tyranny were increasing and Husayn b. 'Ali, his family, and companions were killed mercilessly at Karbala, the Mahdi had decided to rise in order to avenge the martyrs of Karbala, and restore justice on earth as it had been filled with wickedness. He then introduced himself as the Mahdi's representative. In this manner Mukhtar launched an insurrection and killed a group of murderers who had participated in killing Imam Husayn. This was, by the way, the first time that an insurrection had been launched against the caliphate.
The second person who manipulated the faith in the Mahdi for his own political ends was Abu Muslim of Khurasan. Abu Muslim organized a widespread movement against the Umayyads in Khurasan with the pretext of avenging the blood of Imam Husayn, his family and companions who were killed in the tragic event of Karbala. In addition, he rose to avenge the cruel murders of Zayd b. 'Ali during the caliphate of Hisham b. 'Abd al-Malik and of Yahya b. Zayd during the caliphate of Walid. A group of people regarded Abu Muslim himself to be the awaited Mahdi. Others saw him as a forerunner of the Mahdi and as one of the signs that preceded the final revolution under he who would appear with black banners from the direction of Khurasan. In this insurrection the 'Alids, 'Abbasids and all other Muslims formed a united front against the Umayyads that finally overthrew their rule over the empire.
Although these movements were heavily based on restoring the usurped rights of the ahl al-bayt and avenging the unjust murders of the 'Alids, the 'Abbasids and their supporters manipulated the insurrection to their own advantage. With treachery and treason they distorted the actual direction of the movement and seized power from the supporters of the 'Alids, thereby establishing themselves as the ahl al-bayt of the Prophet and as the new caliphs of Islam.
In this revolution, which was founded upon Shi'i ideals of justice and equity, the people had succeeded in proving their ability to overthrow the tyrannical rule of the Umayyads. They were pleased that they had eliminated the source of Umayyad corruption and had helped to return the right to rule to its rightful leaders among the ahl al-bayt. After all, they had at least succeeded in getting rid of Umayyad oppression. The success had led them to aspire to a better life and a more equitable society. In fact, they had congratulated each other in those terms. However, within a short period they were awakened to the cruelty of the new dynasty, the 'Abbasids, and realized that the new rulers were not very different from those they had replaced. There was no change in their living conditions, no justice, no equity, and no peace. Their lives and property were not secure from the worldly rulers and administrators of the new state. The promised reforms and promulgation of the divine ordinances were far from being realized. Gradually, as people became aware of the failure of the revolution they had helped to launch, they became conscious of their error in judgement regarding the 'Abbasids and their deception in the name of the promised Mahdi.
The 'Alid leaders also found the 'Abbasid behavior towards them and towards Islam and the Muslims not very different from that of the Umayyads. In fact, the 'Abbasids proved themselves to be even more manipulative and brutal towards the descendants of 'Ali b. Abi Talib. They were left with no alternative than to launch their resistance anew and fight the 'Abbasids also. The best persons among them to lead such resistance were undoubtedly the descendants of 'Ali and Fatima (peace be upon them). The reason was that there were a number of their descendants who were known for their piety, wisdom, knowledge and courage. In fact, they were regarded as more qualified candidates for the caliphate. Moreover, they were the true descendants of the Prophet and their direct lineage to him generated a sense of loyalty and love for them. In addition, because their rights had been usurped and they had suffered wrongs at the hands of the Umayyads, the masses had a natural inclination and sympathy for the ahl al-bayt.
Consequently, as the 'Abbasids persisted in committing atrocities against the ahl al-bayt the people were, more than ever before, drawn towards them and rallied to their cause in opposing the rulers and in rebelling against them. In addition, they made use of the notion of the Mahdi that had from the time of the Prophet taken deep roots in the minds and hearts of Muslims and introduced their revolutionary leader as the promised Mahdi. This required the 'Abbasids to confront some of the most popular, highly respected, and very learned rivals to their power. The 'Abbasid caliphs knew the 'Alawid leaders well, being fully aware of their personal qualities and honorable family lineage and the prophecies that were foretold by the Prophet about the future coming of the Mahdi, the restorer of Islamic purity. They knew that in accordance with the traditions reported from the Prophet the awaited Mahdi would be one of the descendants of Fatima (peace be upon her). He would be the one to rise against tyranny and oppression and establish the rule of justice on earth. Moreover, they knew that his victory was guaranteed. The promise of justice through the appearance of the Mahdi had an enormous spiritual impact upon the people and the caliphal authority was fully informed about its potentially explosive repercussions in the empire. It is probably correct to say that the most formidable challenge to 'Abbasid authority was from these 'Alawid leaders, who had caused them to loosen their grip on the regions under their control and face the consequences of their corrupt rule.
The strategy that was adopted by the 'Abbasids in the light of this growing opposition to them was to divide the followers of these 'Alawid leaders and prevent them from rallying around them. The leaders themselves were kept under constant surveillance and, the famous ones among them were either imprisoned or eliminated. According to Ya'qubi, the historian, the 'Abbasid caliph Musa Hadi tried his utmost to arrest the prominent descendants of 'Ali b. Abi Talib. He had even terrorized them and had sent instructions all over his realm demanding that they be arrested and sent to him. Similarly, Abu Faraj Isfahani writes: "When Mansur became the caliph all he was concerned about was the arrest of Muhammad b. 'Abd Allah b. Hasan [b. 'Ali b. Abi Talib] and finding out about his plans [regarding his claim to being the Mahdi]."

Category: 0 komentar

Who Is Imam al-Mahdi?

Who Is Imam al-Mahdi?
I'm writing this document as a respond to requests from many Muslims and non-Muslims. I found many documents about this subject that contains a lot of false Hadeeths. This document is a result for a long research in evaluating every Hadeeth (true or false). Arabic version is also availavble.
The term "MAHDI" is a title meaning "The Guided one". Mahdi is a normal man who is going to follow the true Islam. His name will be Muhammad and his father name will be 'Abdullah. He is a descendant from Ali and Fatima (daughter of the prophet Muhammad (pbuh)) so he will be descendant from al-Hasan or al-Husain. Mahdi will be very just and his capital will be Damascus. Allah told us that Jews will master the world two times (we live now 1998 during the first one) and Mahdi will appear between those two periods and will rule through the last one. Mahdi is NOT a prophet but he is the final Rightly Guided Khalifa. Mahdi will lead Muslims to a great victory against the Christian Romans (i.e. All the white Europeans including the Americans). This great war is called al-Malhamah al-Kubrah or Armageddon. It will end up with a great victory to Muslims against Romans after six years. Muslims will take over their capital Rome (this can be any city). In the seventh year, the Anticrist will apear and a greater war will start between Jews and Muslims for 40 days (longer that usual days) and will end when Jesus (pbuh) will come and Muslims will kill all Jews. All people will convert into Islam. Peace will pervade the whole world.
As Muslims, we should remember that the prophecy about Mahdi is one that will come to pass. This prophecy, however, does not absolve the Muslim Ummah from its duty to strive in the cause of Allah, oppose injustice, and seek peace and betterment of human condition. Centuries have passes from the time of the holy Prophet and there is a good possibility that many more will expire before the advent of the Mahdi. Muslims who are negligent in their duty hoping for a savior are committing a grave mistake and are not following the divine decrees ordained in Quran or taught by the Prophet Muhammad (pbuh).

Category: 0 komentar

The Mahdi Is A Subject Needing To Be Widely Broadcast Rather Than Kept Hidden

The Mahdi Is A Subject Needing To Be Widely Broadcast Rather Than Kept Hidden
The effects of the system of the Dajjal and the Sufyan, opposed to the Mahdi, had not been felt when Bediuzzaman was alive
The current state of Islamic countries and of the Muslims of the world clearly reveals that the duties to be discharged by the Mahdi had not come about in Bediuzzaman's day. The effect of the Sufyan and the system of the Dajjal were not yet fully felt in Muslim countries. Religious freedom does not apply in many countries of the world. When Bediuzzaman was alive, the difficulties, troubles and oppression facing Muslims were not that intense. This shows that, like those of the Mahdi, the activities of the Sufyan and the Dajjal had not yet taken place at that time. It is impossible to speak of the Mahdi performing his duties in a climate in which the struggle against the Dajjal and the Sufyan had not yet arisen.
In addition, the whole Islamic world and Muslims are today divided amongst themselves. In Bediuzzaman's day, there was a unifying effect on the Muslims of the world. It is revealed in the hadiths of our Prophet (saas) that the Mahdi will have a unifying effect on all Muslims. Bediuzzaman also reports this characteristic of the Mahdi:
...that individual will seek to fulfill that great duty with the spiritual assistance of all believers, and the solidarity of Islamic UUnion, and all scholars and learned men, and in particular with the contribution of millions of devoted sayyids descended from the line of our Prophet (saas). (Emirdag Addendum, p. 260)
In this extract, Bediuzzaman is describing the third duty of the Mahdi. According to this, at a time when the moral values of the Qur'an are ignored, the Mahdi will be a means whereby people turn back to religious morality; he will establish an islamic Union, and all Muslims will unite and join forces and assist the Mahdi in this task. Such comprehensive alliance and support, in which all Muslims will be included, had not yet come about in Bediuzzaman's day. As revealed by Bediuzzaman, the spiritual assistance from this wide community will only emerge in the end times with the Mahdi, and will play a major role in Islamic moral values coming to rule the world.
Bediuzzaman said that the accounts in the treatises were sufficient concerning all matters.
Bediuzzaman, many times, asserted during his lifetime the truth of everything he had written, saying, "I also abide by these as a student of the Treatise of Light." Each treatise is a book published in many editions. If, therefore, he openly states, "I know I am not a sayyid" in his works, then it would be a vile insult and slander against Bediuzzaman Said Nursi for certain people to say: "Bediuzzaman's statements are untrue; he called us one day and said that he was both a sayyid and the Mahdi." Because this would be equivalent to claiming that what such a worthy and moral individual as Bediuzzaman had written was a "lie." A claim to the effect that, contrary to what he wrote over hundreds of pages, Bediuzzaman "only told two or three people that what he had written was a lie," is a grave imputation against those who make such claims. No claim to the effect that "Bediuzzaman deceived millions of people, but only told a handful of people the truth," is completely unacceptable.
On the other hand, it is sufficient for Bediuzzaman to say, "I am not the Mahdi" to put the record straight. It is nonsensical to maintain that such a holy personage "wrote detailed and comprehensive lies overe hundreds of pages, and what he wrote is all a deception." Such a grave insult is unacceptable, even if made out of love.
It is completely out of the question for a reformer of such deep faith as Bediuzzaman to have written the exact opposite of what he thought and believed in his works. Therefore, it is a grave slander, albeit made out of love for Bediuzzaman, albeit with the very best of intentions, to make such a claim years after his death. An attitude that accuses him of lying and maintains that he spent hundreds of pages deceiving the public cannot be accepted by any conscience.
In addition, various unrealistic claims regarding the Prophet Isa (as) may also be made in order to support this groundless claim. As we know, we are told in the hadiths of our Prophet (saas) that the Prophet Isa will return to Earth during the time of the Mahdi. The Prophet Isa and the Mahdi will pray together, with the Mahdi acting as imam, and they will rule together on Earth for seven years. However, none of these developments took place while Bediuzzaman was alive. Bediuzzaman did not live alongside the Prophet Isa (as). Various attempts are made to explain this anyway. Unfounded ideas, such as that the Prophet Isa (as) will return only in spirit, or that he lived, died and was buried during Bediuzzaman's lifetime, are put forward. The fact is, however, that Bediuzzaman has made it crystal clear, and many times, in his works that the Prophet Isa (as) will return to Earth as "a person," with his human body. He also stated that the Prophet Isa (as) would forge an alliance with Christian leaders and fight against and intellectually neutralise the Dajjal. In one of these statements, Bediuzzaman says that the Prophet Isa will be a person, not a spiritual entity: ... THE PROPHET ISA (as), who is in the world of the heavens WITH HIS PHYSICAL BODY, will assume the leadership of the true.... (Letters, p. 60)
In addition, in those extracts in which Bediuzzaman refers to the Prophet Isa's (as) struggle against the Dajjal, he speaks not of a struggle between one spiritual entity and another, but of one between the true person of the Prophet Isa (as) and the personage of the Dajjal:
... Those whose faith is weak find it hard to believe that "the Prophet Isa (as) will come and labour with the law of Islam and will slay the Dajjal," as is reported in a hadith of absolute trustworthiness. If the truth of that is set out, no room for doubt will remain. (Letters, p. 58-59)
In another extract, Bediuzzaman says that the influence of the Dajjal can only be done away with by a prophet possessed of the power of miracles, and once again states that the Prophet Isa (as) will be a person with the attribute of working miracles, and not a spiritual entity:
... he can only be A PERSON possessed of marvels and miracles and accepted by the people; THAT PERSON is THE PROPHET ISA (as), the most concerned and the prophet of most people..... (Rays of Light, p. 463)
Such claims as these, pointing to private conversations as evidence, despite Bediuzzaman's unequivocal words regarding the coming of the Mahdi and the Prophet Isa (as), are very dangerous interventions that may cast doubt on all the treatises written by such a valuable reformer. How valid can these be if many people come up with very different claims, saying, "Bediuzzaman Said Nursi may have said this here, but this is only a stratagem, a lie; he told us the truth?" Not long after this, anything at all will be able to be said about any matter in the Treatise of Light, and Bediuzzaman's works will increasingly lose their true meaning and wisdom. The only way to forestall this danger is to accept the words of such a worthy Islamic scholar, written and confirmed by himself, at their face value. Indeed, in his works, Bediuzzaman has recalled that the treatises contain the most truthful exposition of this subject, as they do of all others, and has stated that when someone reads what is written in the treatises they can acquire the most accurate information, just as if they were speaking to him in person.
Each book in the Treatise of Light is a Said. Whichever book you look at, you can benefit from it ten times more than by speaking to me in person, and you will really have spoken to me in truth. The Treatise of Light leaves no need for me. (Emirdağ Addendum, p. 159)
... because he says: "If anyone wishes to speak with me, about the hereafter, or the Treatise of Light, the Treatise of Light has left no need for me at all. The millions of copies are as much use as ten Saids... If it regards serving or disseminating the Treatise of Light, it is enough for true followers who serve me and my spiritual children and brothers to deal with my counterpart, there is no need for me... (Emirdağ Addendum-2, p. 214)
Bediuzzaman also devoted space in his works to the words of his students who expressed the same fact. Some of these read:
O teachers and people of the heart! You can find the answers to your questions in the Treatise of Light. One of those who, as a blessing from Allah, know secret, invisible truth, asks someone as helpless as me about the Mahdi, "When will he come?" He knows nothing of the Mahdi and does not know who the Dabbetu'l Arz is. There is a description of this in the treatises. Look for the answer to every difficult question in the treatises, and you will find it there. (Mustafa Hulusi, Barla Addendum, p. 143)
...On this subject, may I submit that, in sometimes generously reading to a disciple from the Treatise of Light, our teacher Bediuzzaman would not explain it, saying: "The Treastise of Light explains matters of faith sufficiently and deeply. The teacher of the Treatise of Light is the Treatise of light itself. The Treatise of Light leaves no need to study with anyone else." (Extracts, p. 772)
THE COMING OF THE MAHDI
Was Imparted by Our Prophet (saas) Himself
There are a great many hadiths of our Prophet (saas) regarding the Mahdi that are generally regarded as reliable. Our Prophet (saas) imparted that this is good news for Muslims in the words of one gadith, "LEARN OF THE MAHDI. He is from the Quraysh and is one from my house." (Book of Sayings of the Portents of the End Times, p. 13) In another hadith, our Prophet (saas) says: "The Mahdi will appear, EVERYONE WILL SPEAK ONLY OF HIM, drink of his love and NOBODY WILL SPEAK OF ANYTHING ELSE" (Book of Sayings of the Portents of the End Times, p. 33), stating that everyone will speak of this holy individual when he appears.
Bediuzzaman Also Imparted the Glad Tidings of the Mahdi
The honesty, openness, and clarity in Bediuzzaman's nature and which dominated his life are reflected in his works, the Treatise of Light. Bediuzzaman Said Nursi devoted considerable space to the Mahdi in his works, providing a detailed description of the subject over hundreds of pages. It is quite clear that had he thought that the subject needed to be concealed, or if he thought there was no need to read about it, he would not have included all these statements in the treatises.
Bediuzzaman made the matter public with his statements, and openly stated that it was not a problem needing to be concealed. Indeed, the fact that the treatises have been read by millions of people over many years clearly demonstrates that it is a subject placed in the open, rather than hidden. The Treatise of Light is a most valuable collection of works in which Bediuzzaman Said Nursi, the reformer of the last century, expressed the truths emerging from his heart and tongue.
Bediuzzaman openly stated that he was not the Mahdi (Emirdağ Addendum, p. 266), That the Mahdi would come a century after him (Kastamonu Addendum, p. 57), That he was a private soldier and member of the vanguard of the Mahdi (Barla Addendum, p. 162), That he had prepared the way for the Mahdi with his books and work (The Seal of Affirmation of Hidden things, p. 189), And that it was an error and a condusion for him and the Treatise of Light to be equated with the Mahdi (Emirdağ Addendum, p. 266).

Category: 0 komentar

The Mahdi And His Helpers

The Mahdi And His Helpers
Our Prophet (saas) has told us that the Mahdi will serve for the benefit of Islam and Muslims and will carry out many important activities. According to the information provided in the hadiths, the Mahdi, who resembles our Prophet (saas) in terms of his moral values, will engage in sincere efforts for people's salvation in this world and in the Hereafter, and by means of him there will be comfort, peace and abundance in the world. It is also reported that he will have a small number of helpers in this honorable and superior duty. The information provided regarding the Mahdi's helpers in the hadiths and in the expressions of Islamic scholars are the signs that will enable him to be recognized.
The 1400s (Hijri) in which we are living is a time when the portents of the end times reported in the hadiths of our Prophet (saas) and in the works of Islamic scholars are becoming true one by one. We are informed that great and historic events will take place in this period. Allah has chosen blessed people to conduce to those developments. The superior moral values and honorable struggle of the Mahdi, is described detailed in the hadiths. Another thing we are informed about is the Mahdi's helpers and their various features. One of the most striking features is their numbers. According to the hadiths, the numbers of his helpers, who will be active on a global scale, will remain the same and won't change during their transmission. This is a miraculous state of affairs created by Allah in His wisdom. The numbers of the Mahdi's helpers are going to be the cause of his recognition.
When the Mahdi Appears His Helpers Will Be Few
As revealed by our Prophet (saas) in the hadiths, the number of the people who support him when he first appears will be very few as a requirement of the law of Allah revealed in the Qur'an. This has been same in all the communities of believers who lived throughout the history. The Qur'an also contains information about the fewness of sincere believers around the prophets.
For example, only few young people constituting the community in which the Prophet Musa (as) lived, believed in him:
"No one believed in Musa except for a few of his people out of fear that Pharaoh, and the elders, would persecute them. Pharaoh was high and mighty in the land. He was one of the profligate." (Surah Yunus: 83)
The same thing is valid for the helpers in the period when Prophet 'Isa (as) first appeared. It is understood that noone has believed in him except few Disciples The Disciples believed in Prophet (as) is revealed as follows in the Qur'an:
"You who believe! Be helpers of Allah as 'Isa son of Maryam said to the Disciples, 'Who will be my helpers to Allah?' The Disciples said, 'We will be the helpers of Allah.' One faction of the tribe of Israel believed and the other disbelieved. So We supported those who believed against their enemy and they became victorious." (Surah As-Saf: 14)
The Qur'an also tells us that the Companions of the Cave were very few in number:
"They will say, 'There were three of them, their dog being the fourth.' They will say, 'There were five of them, their dog being the sixth,' guessing at the Unseen. And they will say, 'There were seven of them, their dog being the eighth.' Say: 'My Lord knows best their number. Those who know about them are very few.' So do not enter into any argument concerning them, except in relation to what is clearly known. And do not seek the opinion of any of them regarding them." (Surat Al-Kahf: 22)
In another verse we are told that the number of people following Prophet Nuh (as) was also few:
"...But those who believed with him were only few." (Surah Hud: 40)
It is also reported in the Qur'an that very few people believed in Prophet Lut (as). When the People of Lut (as) were struck by a great disaster, apart from his non-believing wife, Allah rescued only the believer members of Prophet Lut's (as) family:
"...We are going to rescue him and his family-except for his wife. She will be one of those who stay behind. When Our Messengers came to Lut, he was distressed on their account, feeling incapable of protecting them. They said, 'Do not fear and do not grieve. We are going to rescue you and your family-except for your wife; she will be one of those who stay behind." (Surat Al-'Ankabut: 32-33)
The Number of the Mahdi's Helpers Will be Around 300
A specific number is cited in the hadiths for the number of people who will follow the Mahdi:
These 313 are devout believers by night and heroes by day. (Al-Uqayli, An-Najmu's-saqib fi Bayan Anna'l Mahdi min Awladi Ali b. Abu Talib Ale't-Tamam ve'l Qamal)
They consist of a group, including women, of 314 people. They will overcome all tyrants. Their hearts are like iron, and they are lions by day and devout believers by night. Neither those before nor after them can match them in self-sacrifice. (Al-Uqayli, An-Najmu's-saqib fi Bayan Anna'l Mahdi min Awladi Ali b. Abu Talib Ale't-Tamam ve'l Qamal)
Three hundred and fourteen people, among them women, will appear before the Mahdi. (Al-Uqayli, An-Najmu's-saqib fi Bayan Anna'l Mahdi min Awladi Ali b. Abu Talib Ale't-Tamam ve'l Qamal)
It is striking that the number of people believing in this valuable person who serves for the religion and calls people to believe in Allah, are few. There is no doubt that this is a miraculous state of affairs. The Mahdi, who will prevail the moral values of the Qur'an, will have only 313-314 helpers, when even the smallest religious communities today have thousands of members, is one of the main distinguishing features of the Mahdi and his community.
Bediüzzaman Said Nursi also recalled in his writings that although their numbers will be few every member of the community of the Mahdi would be spiritually very powerful:
It was related from Muhammed b. Hanefi that: Their numbers will be those of the people of Badr (313). In the same way that those before them cannot match them, neither can those who come after. Their number is as many as those who crossed the river with Talut. (Fera Idu Fevaidi'l Fiqr Fi'l Imam al-Mahdi al-Muntadhar)
The force and spiritual army this duty depends on is some students in full possession of titles of loyalty and solidarity. No matter how few they may be, they are as powerful and valuable as a literal army. (Emirdag Addendum, p. 259

Category: 0 komentar

The Mahdi And His Helpers

The Mahdi And His Helpers
Angels Will Also Assist the Mahdi
Allah will support him with three thousand angels. (Ibn Hajar al-Haythami, Al-Qawl al-Mukhtasar fi Alamat al-Mahdi al- Muntadhar)
Jibril will be before them, and Mikail behind.
... .( Ibn Hajar al-Haythami, Al-Qawl al-Mukhtasar fi Alamat al-Mahdi al- Muntadhar)
It is reported in the hadith that Jibril and Mikail will be among the Mahdi's helpers. According to this information, by Allah's will, angels are also going to help the Mahdi.
The angels' help to true believers is reported in various verses of the Qur'an. Our Lord also supported our Prophet (saas) and his companions with angels. Some verses on the subject are as follows:
"And when your Lord revealed to the angels, 'I am with you so make those who believe firm..." (Surat Al-Anfal: 12)
"And when you said to the believers, 'Is it not enough for you that your Lord reinforced you with three thousand angels, sent down?'" (Surah Al 'Imran: 124)
Every Believer Living in the End Times Is Very Valuable
Another noteworthy subject in the hadiths of our Prophet (saas) is that every believer in the end times will be very valuable. In the end times, when atheism is widespread all over the world and when moral degeneration is proceeding at a great pace, believers, and especially the Mahdi, will encounter great difficulties and social pressure. This is reported in one of the hadiths as follows:
Such a time will come that he who is patient before the religion will be like one holding a glowing ember. (Fera Idu Fevaidi'l Fiqr Fi'l Imam al-Mahdi al-Muntadhar)
To serve with this worthy person who is patient in the face of such pressure, people need to compete with one another to be his helpmates in great excitement and enthusiasm. However, during the end times, truth and falsehood will change place in practice. The people who have left the moral values of the Qur'an and the moral degeneration's enormous dimension may prevent people from following such an honorable believer and joining his community.
The Mahdi's Helpers in Various Islamic Sources
They are young
The standard-bearer of the Mahdi will be a young person, fair colored, with light beard." (Ibn Hajar al-Haythami, Al-Qawl al-Mukhtasar fi Alamat al-Mahdi al- Muntadhar, p. 51)
His (the Mahdi's) standard-bearer will be a young person belonging to the line of Temimi from the East. ((Ibn Hajar al-Haythami, Al-Qawl al-Mukhtasar fi Alamat al-Mahdi al- Muntadhar, p. 26)
They are non-Arabs
The Mahdi's helpers will not be Arabs, but will be from other nations." (Portents of Doomsday, p.187)
They possess knowledge
"These ministers will be wise in all matters." (M. Arabi) (Hayrettin Gumusel, The Awaited Mahdi, p. 37, Kopru Publishing)
They will be supported spiritually
Know that when the Mahdi appears all those with great knowledge and fear of Allah and the people in general will rejoice. They will be divine, in other words spiritually supported man of the Mahdi. They will preserve his call, assist him, and reunite him to the victory. They will assume all heavy burdens belonging to the nation. They will support the Mahdi beyond the duty entrusted to him by Allah." (M. Arabi) (Hayrettin Gumusel, The Awaited Mahdi, p. 37, Kopru Publishing)
They will have a protector who is not one of their kind. This has never opposed Allah. He will be one of the purest and most honest ministers." (M. Arabi) (Hayrettin Gumusel, The Awaited Mahdi, p. 37, Kopru Publishing)
It is related from Muawiya b. Qurra that:
A group from his community will be helped until the Resurrection day. (Ramuz al-Ahadith, 472)
They have superior moral values
It is certain they are banners of the true path. (Ramuz al-Ahadith, 1/135)
They are people of Islam who fear no condemnation from any critics nor any malicious tales on the path of Allah. (Sunan Ibn Majah,10-259)
It is related from the blessed Ali that:
"...they are people who truly know Allah, and they will be the Mahdi's helpers in the end times." (Abu Naim Al Qufi)
By Allah's will they are not going to be defeated
One of the distinct qualities of these ministers is that they will never be defeated." (M. Arabi) (Hayrettin Gumusel, The Awaited Mahdi, p. 37, Kopru Publishing)
According to Nuaym, related from Abu Jaffar:
Allah will grant success to the army of the Mahdi and his helpers..." (Fera Idu Fevaidi'l Fiqr Fi'l Imam al-Mahdi al-Muntadhar)
They are the most trustworthy among people
The Mahdi will remain hidden until the time comes, he will appear at the promised time. Those whom he trusts, his viziers are the most trustworthy. (M. Arabi) (Hayrettin Gumusel, The Awaited Mahdi, p. 37, Kopru Publishing)
His (the Mahdi's) commanders are the most auspicious of people." (Ibn Hajar al-Haythami, Al-Qawl al-Mukhtasar fi Alamat al-Mahdi al- Muntadhar, p. 49)
They feel no sorrow for those who leave, nor joy for those who join them
It is related from Muawiya b. Qurra that:
Neither will the desertion of those who abandon them will do them no harm. (Ramuz al-Ahadith, 472)
It is related from Muhammad bin Hanafi that:
...As the clouds gather around the skies, so Allah will gather a community around him. He reconciles their hearts. They do not grieve for the martyred nor rejoice for who join them. Their number will be as many as the People of Badr (313). In the same way that those before them can not equal them, neither can those who come after and their number is as many as those who crossed the river with Talut (Book of sayings on the portents of the Mahdi of the End Times-57)
Allah has concealed them
Allah has appointed a group to them as viziers. Allah has concealed these individuals. (Hayrettin Gumusel, The Awaited Mahdi, M. Arabi p. 36, Kopru Publishing)
Allah creates a community for the Mahdi. They are concealed by Allah. (Prophecies of the Mahdi. p. 129)
They will be true to their word
They will act in the vanguard like leaders... In the same way that leading believers kept their word to Allah, so they will confirm their words. (M. Arabi) (Hayrettin Gumusel, The Awaited Mahdi, p. 37, Kopru Publishing)
In his commentary, Ibn Marduya relates a hadith from Ibn Abbas: He stated that:
The Companions of the Cave will be the Mahdi's helpmates." (Al-Muttaqi al-Hindi, Al-Burhan fi Alamat al-Mahdi Akhir al-Zaman)
In his commentary on the Qur'an, Imam Abu Ishaq Salam states that:
When the Mahdi appears he will go to the Companions of the Cave and greet them, and Allah will resurrect them and they will take their places at the Mahdi's side. Afterwards, they will return to the place where they lie and not rise again until the day of Resurrection. (Al-Muttaqi al-Hindi, Al-Burhan fi Alamat al-Mahdi Akhir al-Zaman)
Imam Suyuti states:
The slumber of the Ashab al-Kahf is a grant them by Allah. Because they will be the Mahdi's helpers and will have the honor of being included in the community of Muhammed (saas). (Hadiths from the commentary by Jalaladdin Suyuti, Portents of the Mahdi of the End Times, p. 59)
The Mahdi's Helpers in Various Islamic Sources
As revealed by our Prophet (saas) 1400 years ago, the Mahdi, one of the chosen servants of Allah, by the will of Allah, will prevail the moral values of the Qur'an to all over the world. He will fulfill that duty as written in his destiny, even if he has to do it alone. It is a mercy and blessing from Almighty Allah to be supported by helpers during the period of his transmission. Our Lord's support for His emissaries is revealed in the Qur'an as follows: "If you do not help him, Allah did help him..." (Surah At-Tawba: 40)
The Ashab al-Kahf Will Join the Mahdi's Helpers
According to the blessed Huzayfa:
The Prophet (saas) stated: "My community will not be raised before the Mahdi appears. Allah will support him with three thousand angels... The Ashab al-Kahf will be with him and be his helpers."
They Will Pray by Night and Work by Day
Abu Nuaym related from Abu Jaffar:
"Upon this call, 313 people, as many as the People of Badr, who were not previously allied together will immediately appear, and worship by night and act as lions by day (Fera Idu Fevaidi'l Fiqr Fi'l Imam al-Mahdi al-Muntadhar)
CONCLUSION
The Mahdi will be a holy individual, whose moral values, physical features, activities, services and effect on the world were described by our Prophet (saas) 1400 years ago, and which are written in his own destiny. Those features cannot be imitated, nor acquired by effort, so, by the will of Allah, the Mahdi's work cannot be prevented or rejected by any kind of pretext. By Allah's will The Mahdi will serve, together with Prophet 'Isa who will return back to Earth for the second time in the end times to prevail the moral values of the Qur'an to all over the world as reported by our Prophet (saas). This is a destiny determined by Allah. The domination of the moral values of Islam is described in the Qur'an as follows:
It is He Who sent His Messenger with guidance and the Religion of Truth to exalt it over every other religion, though the idolaters hate it. (Surat As-Saff: 9)

Category: 0 komentar

renungkan al furqon

RENUNGKAN ALQUR'AN
Merenungkan makna al-Qur’an pada prinsipnya adalah dengan cara mentadabburi dan memikirkannya. Seorang yang bagus bacaannya adalah apabila hatinya telah melunak dengan kalam Rabbnya, konsentrasi dalam mendengarkan dan menghadirkan segenap hati terhadap makna-makna sifat dari Dzat yang berbicara kepadanya, memperhatikan kekuasaan Nya, meninggalkan ketergantungan terhadap pengetahuan dan akalnya, melepas segala rasa keberdayaan dan kekuatan diri, mengagungkan Dzat yang berfirman kepadanya, merasa hina dengan kemampuan pemahaman nya. Dengan kondisi yang istiqamah dan hati yang bersih, dengan kekuatan ilmu, kesungguhan pendengaran untuk memahami firman-Nya, seakan-akan menyaksikan jawaban yang Ghaib. Juga dengan doa orang yang merendah diri, merasa banyak kekurangan dan merasa miskin, serta dengan menanti pertolongan dari Dzat yang Maha Menolong dan Maha Tahu, dan dengan memohon pertolongan kepada-Nya agar bacaannya membawa dirinya kepada pemahaman makna. Dia menghadirkan sifat dari Dzat yang berbicara , berupa janji-Nya dengan penuh kerinduan, ancaman-Nya dengan perasaan takut dan peringatan-Nya dengan kesungguhan.
Allah subhanahu wata’alaberfirman,”Orang-orang yang telah kami beri al-Kitab kepadanya, mereka membacanya dengan bacaan yang sebenarnya, mereka itu beriman kepadanya.” (QS.al-Baqarah:121)
Dan orang inilah yang merupakan rasikh fil ilm atau mendalam ilmunya, semoga Allah subhanahu wata’ala menjadikan kita termasuk golongan orang seperti ini. Allah subhanahu wata’ala berfirman, artinya,”Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar).” (QS. al-Ahzab: 4). (Al-Burhan, Az-Zarkasyi 2/197)
Selayaknya bagi orang yang membaca al-Qur’an untuk meresapi setiap ayat sesuai dengan konteksnya, serta berusaha memahaminya. Jika dia membaca ayat,artinya, “Segala puji bagi Allah Yang telah menciptakan langit dan bumi.” (QS.al:An’am:1). Maka hendaknya dia menyadari betapa agungnya Allah subhanahu wata’ala, dan terlintas di benaknya kekuasaan Allah subhanahu wata’alaƒndan segala apa yang Dia kehendaki. Kemudian jika membaca ayat, artinya,”Maka terangkanlah kepadaku tentang nutfah (air mani) yang kamu pancarkan. (QS. 56:58)
Maka hendaknya berfikir bagaimana nuthfah (air mani) dapat berubah menjadi bagian-bagian daging dan tulang. Dan jika membaca ayat tentang keadaan orang-orang yang diadzab hendaknya merasakan takut tertimpa, jika lalai dari mengerjakan perintah-perintah Allah.
Dan selayaknya seseorang yang membaca al-Qur’an mengetahui bahwa dirinya adalah yang sedang menjadi obyek sasaran dari pembicaraan al-Qur’an itu, dan dirinyalah yang mendapat ancaman. Dan kisah-kisah yang ada bukan sekedar membawakan cerita belaka, namun ia memberikan pelajaran. Maka ketika itu dia membaca al-Qur’an seperti membaca nya seorang budak, dan dirinya sedang menjadi sasaran dari tulisan tuannya. Maka hendaklah dia merenungkan al-Kitab dan mengamal kan apa yang menjadi tuntutannya. (MukhtasharMinhaj al-Qasidin, halaman 68)
Al-Imam al-Qurthubi rahimahullah berkata, “Merupakan kewajiban bagi siapa saja -yang dikhususkan oleh Allah Ta’ala dengan menghafal al-Qur’an- agar membaca dengan bacaan yang sebenarnya (haqqa tilawatih), mentadabburi dengan hakikat ibrah dan pelajarannya, memahami segela keistimewaannya dan mencari tahu apa yang asing baginya.” (al-Jami’ liahkam al-Qur’an 1/ 2)
Al-Hakim at-Tirmidzi rahimahullah berkata tentang kemuliaan al-Qur’an, “Hendaknya dibaca dengan tenang, pelan-pelan dan tartil, dan merupakan kemuliaan al-Qur’an hendaknya (dalam membaca) dengan mencurahkan ingatan dan segenap pemahaman sehingga dapat mencerna apa yang difirmankan itu. Termasuk memuliakan al-Qur’an juga hendaknya berhenti pada ayat-ayat janji (wa’d) dan berharap kepada Allah subhanahu wata’ala serta memohon keutamaan dari-Nya, berhenti pada ayat ancaman (wa’id) dan memohon perlindungan kepada Allah darinya.” (al-Jami’ liahkam al-Qur’an 1/27, dan dinisbatkan ke kitab Nawadir al-Ushul)
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Apabila membaca al-Qur’an dengan tafakkur sehingga tatkala melewati ayat yang dia (pembaca) butuh terhadap ayat itu untuk mengobati hatinya, maka hendaknya dia mengulang-ulang ayat itu meskipun seratus kali, bahkan meskipun semalam suntuk. Karena membaca satu ayat dengan tafakkur dan pemahaman, lebih baik daripada menghatamkan bacaan dengan tanpa tadabbur dan pemahaman. Dan juga lebih bermanfaat bagi hati, lebih dapat menghantarkan kepada tercapainya kesempurnaan iman serta rasa manisnya al-Qur’an.?¨ (Miftah Dar as-Sa’adah, hal 402)
Ibnu Muflih rahimahullah berkata, “Berkata al-Qadhi, “Kriteria minimal tartil adalah dengan meninggalkan ketergesaan dalam membaca al-Qur’an, dan yang sempurna adalah tartil di dalam membaca, merenungi ayat-ayat itu, memahaminya, serta mengambil pelajaran darinya meskipun sedikit di dalam membaca, dan ini lebih baik daripada terus membaca dengan tanpa pemahaman sama sekali.”
Sementara Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata, “Seseorang yang membaca al-Qur’an hendaknya memperbagus suaranya dan membacanya dengan rasa takut dan dengan tadabbur, dan ini merupakan makna dari sabda Nabi, “Tidak pernah Allah menyeru dengan sesuatu seperti menyerunya kepada Nabi agar membaguskan suara dan memperindah dalam membaca al-Qur’an dengan mengeraskannya.” (HR. al-Bukhari no.5024, Muslim no. 297,233, an- Nasai, 2/180, Abu Dawud no.1473 dari hadits Abu Hurairah). (al-Adab asy- Syar’iyyah).
Imam as-Suyuthi rahimahullah menyifati wukuf (merenungi) makna-makna al-Qur’an dengan perkataannya, “Hendaknya hati sibuk memikirkan makna-makna ayat yang dilafadzhkan, sehingga mengetahui masing masing ayat, lalu merenungkan perintah-perintah dan larangan-larangannya, serta berkeyakinan untuk menerima itu semua. Jika pada masa lalu ia termasuk orang yang tidak perhatian terhadap masalah itu, maka dia meminta ampun dan beristighfar, jika melewati ayat rahmat maka dia gembira dan memohonnya, atau melewati ayat adzab maka merasa takut dan meminta perlidungan, atau melewati ayat tentang penyucian atau tasbih kepada Allah subhanahu wata’ala, maka hendaknya menyucikan dan mengagungkan-Nya, atau melewati ayat yang berisikan doa, hendaknya merendah diri dan memintanya. (al-Itqan fi Ulum al-Qur’an 1/ 140)
Berkata al-‘Allamah as-Sa’di rahimahullah, “Dan selayaknya dalam masalah itu (membaca al-Qur’an) hendaknya menjadikan makna sebagai tujuan, sedangkan lafazh adalah sebagai sarana untuk memahami makna, maka hendaknya melihat kepada siyaqul kalam (arah pembicaraan) serta kepada siapa pembicaraan itu ditujukan, lalu mempertemukan antara yang dia baca itu dengan pendapatnya dalam tempat (ayat) yang lainnya. Dan hedaknya dia mengetahui bahwa al-Qur’an ditujukan untuk memberi petunjuk kepada manusia baik yang ‘alim maupun yang bodoh, yang ada di kota maupun yang ada di pelosok. Barang siapa yang mendapatkan taufik untuk itu maka tidak ada yang tersisa pada dirinya kecuali akan memberikan perhatian untuk mentadabburi dan memahaminya, akan banyak memikirkan lafazh dan maknanya, kewajiban-kewajiban dan kandungan nya, serta petunjuknya baik yang diucapkan atau yang difahami. Jika seorang memang telah mencurahkan seluruh perhatian dalam masalah ini maka Allah subhanahu wata’ala akan memuliakan sebagian di antara hamba-Nya, dan Allahƒnsubhanahu wata’ala tentu akan membukakan ilmu-Nya berupa hal-hal yang tadinya tidak mampu dia usahakan. (Taisir al-Karim ar-Rahman, 12)
Oleh karena itu selayaknya keinginan atau motivasi terbesar orang shalih, baik di bulan Ramadhan atau selainnya, adalah berapa banyak al-Qur’an memberikan pengaruh dalam sikap? Bukan sekedar berapa banyak menghatamkan al-Qur’an.
Sumber: kitab, “Tadabbur al-Qur’an” karya Salman bin Umar al-Sunaidy [alsofwah]

Category: 0 komentar

Cat Steven, Masuk Islam Saat Berada di Puncak Ketenaran

Cat Steven, Masuk Islam Saat Berada di Puncak Ketenaran
Popularitas dan kekayaan tidak menjamin seseorang hidup bahagia. Cat Steven, bintang pop era tahun ‘70-an, yang kemudian dikenal dengan nama Yusuf Islam, justeru merasakan kegelisahan hidupnya ketika sedang berada di puncak popularitas dimana ia hidup bergelimang harta. Kegelisahan yang mendorongnya untuk menyusuri jalan panjang mencari Tuhan hingga ia menemukan cahaya Islam dan akhirnya menjadi juru dakwah lewat kegiatan musiknya dan aktif dalam kegiatan-kegiatan sosial.
Bintang Pop
Sejak kecil Yusuf Islam sudah akrab dengan panggung-panggung hiburan karena bisnis keluarganya bergerak dalam bidang itu. Ia terbiasa hidup dalam kemewahan kalangan sosial kelas tinggi di Inggris. Sebagai penganut ajaran Kristen, keluarganya mengajarkan Yusuf bahwa Tuhan itu ada, tapi manusia tidak bisa melakukan kontak langsung dengan Tuhan. Umat Kristiani meyakini Yesus sebagai perantara antara manusia dengan Tuhan.
“Saya menerima ajaran itu, tapi saya tidak menelannya mentah-mentah,” kata Yusuf.

“Saya melihat patung-patung Yesus, mereka cuma benda mati tanpa nyawa. Saya tambah bingung ketika mereka bilang Tuhan ada tiga. Tapi saya tidak mendebat pernyataan itu. Saya menerimanya, karena saya harus menghormati keyakinan orang-orang tua saya,” sambungnya.
Beranjak dewasa, Yusuf mulai menggeluti musik dan ia mulai melupakan kebingungannya terhadap ajaran agamanya karena ia sendiri mulai jauh dari kekristenan. Impiannya saat itu hanyalah menjadi bintang musik pop. Apa yang ia lihat dan ia baca di media massa sangat mempengaruhi pemikirannya untuk menjadi seorang bintang. Yusuf punya paman yang punya mobil mewah dan mahal. Ketika itu Yusuf berpikir, pamannya punya mobil mewah karena punya banyak uang.
“Banyak orang di sekeliling saya memberi pengaruh pada pemikiran saya bahwa uang dan dunia adalah Tuhan mereka. Sehingga saya memutuskan untuk bahwa itulah hidup saya. Banyak uang, hidup enak,” tutur Yusuf.
Meski demikian, Yusuf mengaku saat itu masih ada sisi kemanusiaan jauh di dalam hatinya, keinginan untuk membantu sesama manusia jika ia jadi orang kaya kelak.
Yusuf pun membangun karirnya sebagai musisi dan penyanyi. Dalam usia yang masih remaja, Yusuf sudah mengenyam kesuksesan dan keinginannya menjadi seorang ‘bintang besar’ tercapai. Nama dan foto-fotonya muncul di hampir seluruh media massa. Yusuf pun merasakan kenikmatan dunia, tapi itu tak membuatnya jadi puas, ia ingin kehidupan yang lebih dan lebih dari apa yang ia miliki, sayangnya Yusuf terjerumus ke jalan yang salah. Ia memilih narkoba dan minuman keras untuk mencari kehidupan yang ia inginkan itu.
Mencari Kebenaran
Baru setahun Yusuf mengenyam kesuksesan dalam karir dan finansialnya. Yusuf terkena tubercolusis akibat gaya hidup dan kebiasaannya menenggak minuman keras dan narkoba. Ia sakit parah dan harus dirawat di rumah sakit. Saat itu Yusuf pun berpikir, ‘mengapa saya di sini, tergelatak di tempat tidur?, ‘apa yang terjadi pada saya? apakah saya cuma seonggok tubuh? apakah tujuan hidup saya semata-mata hanya untuk memuaskan tubuh ini?. Pertanyaan-pertanyaan itu mengganggu pikirannya dan ia mencoba mencari jawabannya.
Karena pada masa itu di kalangan masyarakat Barat sedang trend mempelajari hal-hal yang berbau mistis dari Timur, Yusuf pun ikut mempelajarinya. Ia mulai sadar tentang kematian. Ia mulai melakukan meditasi dan menjadi vegetarian. Tapi pertanyaan-pertanyaan bahwa dirinya bukan hanya seonggok tubuh manusia, tetap mengganggu pikirannya.
Sebagai bintang pop, namanya terus merangkak ke tangga popularitas. Kekayaan terus mengalir, tapi ketika itu Yusuf mulai mencari kebenaran. Ia pun belajar agama Budha, namun di satu sisi, Yusuf belum berani meninggalkan kehidupan glamournya, meninggalkan kenikmatan dunia dan hidup seperti layaknya pendeta Budha, mengisolasikan diri dari masyarakat.
Selanjutnya, Yusuf juga mempelajari Zen dan Ching, numerologi, kartu tarot dan astrologi, balik lagi mempelajari alkitab, tapi Yusuf tidak menemukan apa yang dicarinya, kebenaran yang hakiki. Sampai kemudian apa yang disebutnya mukjizat itu datang.
“Saudara lelaki saya baru saja kembali dari kunjungannya ke Yerusalem dan disana ia mengunjungi sebuah masjid. Saudara saya itu sangat terkesan melihat masjid yang ramai dikunjungi orang, seperti ada denyut kehidupan, tapi atmosfir ketenangan dan kedamaiannya tetap terasa. Berbeda rasanya ketika ia mengunjungi gereja dan sinagog yang sepi,” kata Yusuf.
Ketika kembali ke London, saudara lelakinya itu memberikan al Quran pada Yusuf Islam. “Dia tidak masuk Islam, tapi ia merasakan sesuatu di agama ini (Islam) dan ia pikir saya juga akan merasakan hal yang sama. Saya menerima al Quran pemberian saudara saya itu dan membacanya. Saat itulah saya merasakan bahwa saya telah menemukan agama yang benar, agama yang tidak seperti pandangan masyarakat Barat selama ini bahwa agama hanya untuk orang-orang tua,” tukas Yusuf.
Ia melanjutkan,”Di Barat, jika ada orang yang ingin memeluk satu agama dan menjadikannya sebagai cara hidunya, maka orang yang bersangkutan akan dianggap fanatik. Tapi setelah membaca al Quran saya yang awalnya bingung tentang tubuh dan jiwa, akhirnya menyadari bahwa keduanya adalah bagian yang tak terpisahkan, Anda tidak perlu pergi ke gunung untuk menjadi religius.”
Saat itu, satu-satunya yang diinginkan Yusuf Islam adalah menjadi seorang Muslim. Dari al Quran ia tahu bahwa semua rasul dan nabi dikirim Allah swt untuk menyampaikan pesan yang sama. “Mengapa kemudian Yahudi dan Kristen berbeda? Kaum Yahudi tidak mau menerima Yesus sebagai Mesiah dan mereka mengubah perintah-perintah Tuhan. Sementara Kristen salah memahami perintah-perintah Tuhan dan menyebut Yesus sebagai anak Tuhan. Tapi dalam al Quran saya menemukan keindahan, al- Quran melarang menyembah matahari atau bulan tapi memerintahkan umat manusia untuk mempelajari dan merenungi semua ciptaan Allah swt ,” papar Yusuf Islam.
“Ketika saya membaca al Quran lebih jauh lagi, al Quran bicara soal salat, sedekah dan perbuatan baik. Saya belum menjadi seorang Muslim saat itu, tapi saya merasa al Quran adalah jawaban buat saya dan Allah swt telah mengirimkannya pada saya,” sambung Yusuf Islam.
Mengucap Dua Kalimat Syahadat
Yusuf Islam kemudian memutuskan untuk berkunjung ke Yerusalem. Di kota suci itu, ia datang ke masjid dan duduk di sana. “Seseorang bertanya, apa yang ia inginkan, saya menjawab bahwa saya seorang Muslim. Orang itu bertanya lagi, siapa nama saya. Saya jawab ‘Steven’. Orang itu tampak bingung. Saya ikut salah berjamaah, meski salat saya tidak begitu sukses,” kisah Yusuf menceritakan pengalamannya di sebuah masjid di Yerusalem.
Kembali ke London, Yusuf menemui seorang muslimah bernama Nafisa dan mengatakan bahwa ia ingin masuk Islam. Nafisa kemudian mengajak Yusuf ke Masjid New Regent. Ketika itu tahun 1977, satu satu setengah tahun sesudah ia membaca al Quran yang diberikan saudara lelakinya. Pada hari Jumat, setelah salat Jumat, Yusuf menemui imam masjid dan mengucapkan dua kalimat syahadat. Ia pun menjadi seorang Muslim. Nama Cat Steven diganti menjadi Yusuf Islam.
“Saya pun akhirnya tahu bahwa saya bisa melakukan kontak langsung dengan Tuhan, tidak seperti dalam agama Hindu dan Kristen yang harus melalui perantara. Dalam Islam, semua penghalang itu tidak ada . Satu-satunya yang membedakan orang yang bertakwa dan tidak bertakwa adalah salatnya, salat adalah proses pemurnian diri,” papar Yusuf Islam.
“Akhirnya, saya ingin mengatakan bahwa apa yang saya lakukan saat ini adalah untuk Allah swt semata. Saya berharap Anda mendapatkan inspirasi dari pengalaman saya ini. Satu yang ingin saya katakan, saya tidak pernah sekalipun berinteraksi dengan seorang Muslim pun sebelum saya masuk Islam. Saya lebih dulu membaca al Quran dan menyadari bahwa tak seorang pun sempurna. Tapi Islam adalah agama yang sempurna dan jika kita mengikuti apa yang dicontohkan Rasulullah Muhammad saw, hidup kita akan selamat. Semoga Allah swt senantiasa membimbing umat Rasulullah Muhammad saw ke jalan yang lurus. amiin,” kata Yusuf Islam menutup pembicaraan. (ln/ri/eramuslim)

Category: 0 komentar

Nenek Obama Akan Berangkat Haji

Nenek Obama Akan Berangkat Haji
Mama Sarah, nenek Presiden Amerika Serikat Barack Hussein Obama mendapat undangan dari Emirat Arab untuk naik haji
Nenek Presiden Amerika Serikat Barack Hussein Obama, Sarah Obama (87) telah menerima undangan dari konglomerat properti Persatuan Emirat Arab (UAE) Dr Sulaiman Al Fahim untuk menunaikan ibadah haji tahun ini, demikian sebuah laporan media.
“Saya menemukan ia belum melakukan ibadah haji dan ia sangat ingin pergi. Karena ibu saya tak lagi bersama kami, keluarga kami punya tempat kosong. Maka saya mengundangnya dan ia menerima undangan itu,” kata pimpinan Hydra Properties seperti dikutip Arabian Business.
“Saya sangat ingin (mengundangnya),” kata Dr Al Fahim, yang media penyedia berita bisnisnya melaporkan, bertemu Mama Sarah dalam lawatan ke Kenya pekan lalu.
Al Fahim, setelah terpilih sebagai Duta Besar kemauan baik (goodwill) untuk mendukung Millennium Development Goals (MDGs), ia pergi ke Kenya untuk melancarkan kampanye antikekurangan gizi di kawasan itu.
Hal ini tentu membahagiakan. Sebab, kampung Obama di Kenya akhir-akhir ini juga gencar ajakan ke agama lain sehingga meresahkan tokoh agama di Kenya. Sarah sempat hadir pada pelantikan Obama sebagai presiden AS awal tahun ini.
Masuk Kristen?
Sebelum ini, nenek dengan nama lengkap Sarah Obama ini sempat dikabarkan akan dibaptis Gereja Advent Hari Ketujuh yang terletak di sebelah barat Kota Kisumu.
Nenek yang sudah berusia lanjut ini tak menduga jika undangan kehadirannya di tempat ibadah itu justru sebagai rencana tersembunyi kelompok tertentu agas dapat berpindah agama. Menurut salah seorang kerabatnya di perkampungan Kogelo, kampung halaman ayah Obama, Mama Sarah terkejut mendapat undangan dari gereja itu.
Mengetahui dirinya bakal dibaptis, Mama Sarah pun menolak undangan dari Gereja Advent Hari Ketujuh. Said Obama, saudara tiri Presiden Obama, menuturkan, pastor gereja itu telah melakukan pendekatan kepada Mama Sarah. Menurut Said Obama, sang pastor menyatakan bahwa Mama Sarah bisa menjadi seorang Kristiani.
Upaya pemurtadan yang akan dilakukan terhadap Mama Sarah oleh Gereja Advent Hari Ketujuh itu menuai reaksi keras dari kalangan umat Islam di negara berpenduduk 32 juta jiwa itu. Betapa tidak, Sarah telah menjelma menjadi seorang selebritas di Kenya, sejak cucunya yang kini menjadi presiden Amerika Serikat mengunjunginya pada 2006.
Bahkan, setelah sang cucu terpilih sebagai presiden AS berkulit hitam pertama, kampung halaman dan rumahnya telah menjadi tempat wisata. Para wisatawan pun berbondong-bondong mengunjungi Kampung Kogelo. Bulan lalu, Pemerintah Kenya telah menjadikan kampung itu sebagai kawasan bersejarah yang dilindungi.
Majelis Ulama dan Imam Kenya mengecam rencana pemurtadan yang akan dilakukan Gereja Advent Hari Ketujuh terhadap Mama Sarah. Sekretaris Majelis Ulama dan Imam Kenya, Syekh Mohamed Khalifa, seperti dikutip kantor berita AFP, menilai upaya yang dilakukan pihak gereja itu sebagai bentuk provokasi.
“Saya menyesalkan upaya yang dilakukan pihak gereja yang memaksa Mama Sarah untuk berpindah agama,” papar Syekh Khalifa. “Mengapa hanya dia? Mengapa hal itu tak dilakukan sebelum Obama menjadi presiden? Apakah mereka melihatnya sebelum cucunya menjadi presiden? Kami siap melindungi agama kami, ” tutur Syekh Khalifa menegaskan.
Menurut dia, Mama Sarah terlahir sebagai seorang Muslim dan akan meninggal sebagai Muslim pula. “Isu pemurtadan tak akan lagi terjadi di sini ataupun di sana,” ungkap Syekh Khalifa.
Menurut Syekh Khalifa, tindakan gereja itu sebagai sebuah provokasi. “Mereka tak memiliki izin dari Yesus untuk memurtadkan seseorang. “Syekh Khalifa pun menantang pihak gereja untuk menyebutkan ayat dalam Bible yang mengizinkan mereka untuk memurtadkan seseorang.
Keluarga ayah Presiden Obama di Kenya memang beragama Muslim. Tak heran, jika sekitar 11 persen rakyat Amerika Serikat (AS) masih menganggap Presiden yang benama lengkap Barack Husein Obama adalah seorang Muslim. Menurut hasil survei yang digelar Pew Research pada pertengahan Maret lalu, satu dari 10 penduduk negeri Paman Sam meyakini bahwa Obama sebagai pemeluk agama Islam.
Hasil survei yang melibatkan 1.308 responden itu sungguh menarik. Pasalnya, saat dilantik pada 20 Januari lalu, Obama disumpah dengan menggunakan Bible. Namun, publik AS masih berpikir bahwa Obama adalah seorang Muslim. Berdasarkan studi itu, satu dari lima penganut agama Protestan Evangelis meyakini bahwa Obama yang memiliki nama tengah bernuansa Islami itu sebagai seorang Muslim.
Yang lebih mencengangkan, 17 persen pendukung Partai Republik juga berpendapat bahwa presiden berkulit hitam pertama di AS itu juga sebagai penganut Islam. Hanya sekitar 38 persen dari penganut Protestan Evangelis dan 46 persen pendukung Partai Republik yang meyakini bahwa Obama sebagai pemeluk agama Kristen.
Sementara itu, sebanyak 55 persen pendukung Partai Demokrat berpendapat, Obama penganut Kristen..
“Tujuh persen pendukung Demokrat meyakini bahwa Obama seorang Muslim,” ungkap Pew Research dalam laporannya, seperti dikutip ABC News, beberapa waktu lalu. [abcn/ihj/hidayatullah]

Category: 0 komentar

Politik Yahudisasi Baru di Al-Quds

Politik Yahudisasi Baru di Al-Quds
Ketua Dinas Perpetaan di Lembaga Studi Arab di Al-Quds, Khalil El-Tefakji, mengingatkan akan bahaya undang-undang (UU) baru yang diterapkan Israel terkait dengan tata ruang bangunan di Al-Quds yang telah diduduki tahun 1967.
Peraturan tata ruang bangunan tersebut telah mencegah warga Al-Quds untuk mendirikan bangunan di tanah air mereka sendiri, demikian dilansir situs infopalestina.
UU itu telah menjadi penghalang besar bagi warga Palestina di kota Al-Quds untuk memperoleh izin bagi pendirian bangunan dari kementerian dalam negeri di Tel Aviv. Sedangkan bagi yang telah mendapatkan izin maka akan dipersulit kelanjutannya.
Prosedur yang diberlakukan adalah mengharuskan warga Al-Quds untuk membuktikan kepemilikan tanah melalui dokumen Thabu dan pendaftaran. Tanpa dokumen tersebut maka warga diharuskan membayar denda sangat tinggi. Masalahnya tanah di Al-Quds tidak memiliki Thabu yang resmi sehingga hal itu sangat sulit diwujudkan, kata El-Tefakji.
Sedangkan bagi warga yang dapat menunjukkan bukti kepemilikan, tetap saja pemerintahan penjajah Israel menerapkan pajak 40 % dari nilai bangunan.
UU pajak memang diterapkan di seluruh dunia, namun di Al-Quds, UU ini bertentangan dengan UU kemanusiaan yang menyatakan bahwa kota itu terjajah dan UU Israel dilarang untuk diterapkan kepada warga Al-Quds.
Karena adanya peraturan ini yang melarang warga untuk mendirikan bangunan, maka warga Al-Quds lebih memilih untuk mendirikan bangunan sendiri.

Category: 0 komentar

Al-Aqsha Dikepung dengan Pemukiman Yahudi

Al-Aqsha Dikepung dengan Pemukiman Yahudi
Statemen wapres Israel dan Mendagri Israel, Eli Yasha, mengenai kampung Salwan adalah deklarasi perang atas kota Al-Quds dan Masjid Al-Aqsha karena Salwan merupakan penjaga Masjid Al-Aqsha sebelah selatan. Jika itu dikuasai Israel maka sama saja menguasai Masjid suci ini, demikian penilaian Lembaga Al-Aqsha untuk Wakaf dan Peninggalan.
Rencana Yahudi untuk menguasai Salwan sudah sangat jelas sejah setahun setengah yang lalu. Rencana ini bertujuan untuk mengepung Masjid Al-Aqsha dengan sabuk pemukiman Yahudi dan memperkuat blokade terhadap masjid ini sebagai langkah untuk mengosongkan jamaah masjid, demikian salinan pernyataan pers yang diterima infopalestina.
Statemen yang dilontarkan Yasha adalah suatu langkah untuk memulai pembersihan etnis dan proses yahudisasi di Salwan dan kota Al-Quds.

Hal ini menuntut semua pihak, baik resmi maupun tidak, negara Arab dan Islam serta tentu saja negara Palestina untuk menghadapi rencana Israel ini secara tindakan nyata karena rencana tersebut akan menguasai kota Al-Quds dan masjid Al-Aqsha, lanjut Lembaga itu.
Ada informasi bahwa akan diadakan sidang oleh Panitia Perencanaan Israel di Al-Quds untuk membahas pemukiman di Salwan. Yasha juga berencana akan melakukan penyitaan terhadap 12 ribu hektar lahan Al-Quds dan dimasukkan ke dalam pemukiman Maaleeh Adomim guna keperluan membangun 6000 unit pemukiman yang bertujuan mengisolasi Al-Quds dari luar.

Category: 0 komentar

Di Eropa, Islam Makin Diminati

Di Eropa, Islam Makin Diminati

Menjelajahi tiga negara Eropa: Belanda, Jerman, dan Belgia, kita dengan mudah menemui para wanita berjilbab, baik tua maupun remaja. Mereka berbusana Muslimah saat berada di jalan, kendaraan, pasar, dan pusatpusat keramaian.
Imigran asal Turki, misalnya, kalau di negaranya yang sekuler kerap menghadapi kendala saat mengenakan jilbab, tidak demikian di ketiga negara Eropa Barat itu. Selain warga Turki, Muslimah asal Maroko, Afrika Utara, yang tinggal di Eropa juga tak lepas dari jilbab. Imigran asal kedua negara Muslim itu mendominasi umat Islam di Belanda, Jerman, dan Belgia.
Ketika mengunjungi Masjid Al-Aksa di Den Haag, Republika menemui sekitar dua puluhan pemuda dan pelajar Belanda yang sedang belajar Islam. Recep Canir seorang voorzitter atau pengurus masjid itu dengan cekatan menjawab setiap pertanyaan yang diajukan para pemuda.
Kepada Republika yang menunggunya sekitar satu jam, pria berusia 50 tahun itu dengan bangga mengungkapkan, Masjid Al-Aksa telah berfungsi sejak 27 Juli 1979. Menurut dia, awalnya masjid itu adalah sebuah sinagog ¡ª tempat peribadatan Yahudi. Masyarakat imigran Turki sepakat memberi nama masjid itu Al-Aksa, diambil dari tempat suci pertama umat Islam.
Di Kota Den Haag, pusat administrasi Pemerintahan Belanda, terdapat tak kurang dari 25 masjid. Masjid atau mushala itu ada yang berasal dari gereja, pertokoan, atau gedung tua.
Bukan hanya para imigran Turki dan Maroko yang banyak membangun tempat peribadatan, juga kaum Muslimin yang berasal dari Suriname (sebagian etnis Jawa yang dikirim pemerintah kolonial ke daerah di Amerika Latin itu pada abad ke-19), maupun warga Suriname yang berasal dari etnis India.
Di seantero negeri kincir angin itu, terdapat sekitar 600 sampai 700 masjid, dengan jumlah umat Islam lebih dari 1,5 juta jiwa. Republika sempat menyusuri kota kecil Leiden, yang berpenduduk 125 ribu jiwa. Di kota itu, terdapat tiga buah masjid, dua masjid dibangun imigran Maroko dan sebuah masjid didirikan imigran Turki.
Islam kian berkembang di Eropa. Perlahan namun pasti masyarakat Eropa mulai tertarik memeluk Islam. Paul (61), seorang mualaf Belanda yang setelah Islam mengubah namanya menjadi Ahmad Fauzi Nobel, mengaku telah belasan tahun memeluk Islam. Kepada Republika, dia mengemukakan semakin mantap dengan Islam yang disebutkan sebagai agama rahmatan lilalamin.
Ia menolak dengan tegas pendapat sementara pihak di Barat yang menyebut Islam sebagai agama teroris dan kekerasan. Menurut dia, sebetulnya banyak warga Belanda yang kini memeluk Islam. Tapi, mereka masih merahasiakan identitasnya,tutur Paul.
Hal itu dibenarkan Lusi Sihabuddin yang sejak 1990-an tinggal di Belanda. Wanita dua anak itu menetap di Rotterdam. Menurutnya, di Rotterdam, terdapat lima buah masjid, dua masjid Maroko, dan tiga masjid Turki. Lusi kini tengah mengumpulkan dana untuk membangun sebuah masjid Indonesia bersama dengan masyarakat Suriname.
Fenomena serupa juga terjadi di Jerman. Dr Fuad Jindan (38) menuturkan, imigran Turki mulai banyak berdatangan ke Jerman, ketika negara itu hancur akibat Perang Dunia II. Mereka bekerja membangun gedung, bangunan, dan jalan kereta api. Sebagai tanda terima kasih, para imigran asal Turki itu diperbolehkan untuk mendatangkan istrinya.
Seperti halnya di Belanda dan Belgia, berbusana Muslimah tak jadi masalah di Jerman. Menurut Fuad, jumlah umat Muslim di negeri panser itu berkembang pesat. Pada 2008 saja, sekitar 2.000 warga Jerman telah memeluk Islam. Tak heran jika jumlah orang Jerman yang ingin menunaikan ibadah haji pun terus bertambah.
Umat Muslim yang ingin menunaikan ibadah haji difasilitasi oleh Yayasan Pengiriman Haji yang dipimpin Wolf Garing Muhammad Sidik. Pria kelahiran Jerman itu merupakan alumnus Universitas Madinah. Setiap tahun, ia memberangkatkan 400 Muslim untuk menunaikan rukun Islam kelima. Padahal, setiap tahunnya lebih dari 900 orang yang mendaftar haji.
Berkembangnya Islam di Eropa tentu saja mendapat tantangan keras, terutama dari kelompok Yahudi. Suratkabar Der Spiegel dan Focus tanpa mengenal ampun terus menjelekjelekkan Islam. Sementara Pemerintah Jerman, takut terhadap Yahudi kalau harus membayar uang duka terhadap pembantaian warga Yahudi oleh Hitler. Meski orang Jerman sendiri tidak percaya kalau peristiwa itu benar-benar terjadi. Masjid juga tersebar di berbagai kota di Jerman, seperti Koln, Berlin, dan Munchen. Seperti halnya di Belanda dan Belgia, mereka membeli gedung-gedung dan perumahan untuk dijadikan sebagai tempat ibadah.

Category: 0 komentar

Manhaj (Jalan) Golongan Yang Selamat

Manhaj (Jalan) Golongan Yang Selamat
Golongan Yang Selamat ialah golongan yang setia mengikuti manhaj Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam dalam hidupnya, serta manhaj para sahabat sesudahnya.
Yaitu Al-Qur’anul Karim yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya, yang beliau jelaskan kepada para sahabatnya dalam hadits-hadits shahih. Beliau memerintahkan umat Islam agar berpegang teguh kepada keduanya:“Aku tinggalkan padamu dua perkara yang kalian tidak akan tersesat apabila (berpegang teguh) kepada keduanya, yaitu Kitabullah dan Sunnahku. Tidak akan bercerai-berai sehingga keduanya menghantarku ke telaga (Surga).” (Di-shahih-kan Al-Albani dalam kitab Shahihul Jami’)
Golongan Yang Selamat akan kembali (merujuk) kepada Kalamullah dan RasulNya tatkala terjadi perselisihan dan pertentangan di antara mereka,
sebagai realisasi dari firman Allah:“Kemudian jika kamu berselisih tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibat-nya.” (An-Nisaa’: 59)
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (An-Nisaa’: 65)
Golongan Yang Selamat tidak mendahulukan perkataan seseorang atas Kalamullah dan RasulNya,
realisasi dari firman Allah:“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan RasulNya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguh-nya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Al-Hujurat: 1)Ibnu Abbas berkata:“Aku mengira mereka akan binasa. Aku mengatakan, ‘Nabi Shallallahu’alaihi wasallam bersabda, sedang mereka mengatakan, ‘Abu Bakar dan Umar berkata’.” (HR. Ahmad dan Ibnu ‘Abdil Barr)
Golongan Yang Selamat senantiasa menjaga kemurnian tauhid.
Mengesakan Allah dengan beribadah, berdo’a dan memohon pertolongan baik dalam masa sulit maupun lapang, menyembelih kurban, bernadzar, tawakkal, berhukum dengan apa yang diturunkan oleh Allah dan berbagai bentuk ibadah lain yang semuanya menjadi dasar bagi tegaknya Daulah Islamiyah yang benar. Menjauhi dan membasmi berbagai bentuk syirik dengan segala simbol-simbolnya yang banyak ditemui di negara-negara Islam, sebab hal itu merupakan konsekuensi tauhid. Dan sungguh, suatu golongan tidak mungkin mencapai kemenangan jika ia meremehkan masalah tauhid, tidak membendung dan memerangi syirik dengan segala bentuknya. Hal-hal di atas merupakan teladan dari para rasul dan Rasul kita Muhammad Shallallahu’alaihi wasallam.
Golongan Yang Selamat senang menghidupkan sunnah-sunnah Rasulullah, baik dalam ibadah, perilaku dan dalam segenap hidupnya.
Karena itu mereka menjadi orang-orang asing di tengah kaumnya, sebagaimana disabdakan oleh Nabi:“Sesungguhnya Islam pada permulaannya adalah asing dan akan kembali menjadi asing seperti pada permulaannya. Maka keuntungan besar bagi orang-orang yang asing.” (HR. Muslim)Dalam riwayat lain disebutkan:“Dan keuntungan besar bagi orang-orang yang asing. Yaitu orang-orang yang (tetap) berbuat baik ketika manusia sudah rusak.” (Al-Albani berkata, “Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Amr Ad-Dani dengan sanad shahih”)
Golongan Yang Selamat tidak berpegang kecuali kepada Kalamullah dan Kalam RasulNya yang maksum, yang berbicara dengan tidak mengikuti hawa nafsu.
Adapun manusia selainnya, betapapun tinggi derajatnya, terkadang ia melakukan kesalahan, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu’alaihi wasallam:“Setiap bani Adam (pernah) melakukan kesalahan, dan sebaik-baik orang yang melakukan kesalahan adalah mereka yang bertaubat.” (Hadits hasan riwayat Imam Ahmad)Imam Malik berkata, “Tak seorang pun sesudah Nabi Shallallahu’alaihi wasallam melainkan ucapannya diambil atau ditinggalkan (ditolak) kecuali Nabi Shallallahu’alaihi wasallam (yang ucapannya selalu diambil dan diterima).”
Golongan Yang Selamat adalah para ahli hadits.
Tentang mereka Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:“Senantiasa ada segolongan dari umatku yang memperjuangkan kebenaran, tidak membahayakan mereka orang yang menghinakan mereka sehingga datang keputusan Allah.” (HR. Muslim)Seorang penyair berkata, “Ahli hadits itu, mereka ahli (keluarga) Nabi, sekalipun mereka tidak bergaul dengan Nabi, tetapi jiwa mereka bergaul dengannya.Golongan Yang Selamat menghormati para imam mujtahidin, tidak fanatik terhadap salah seorang di antara mereka.Golongan Yang Selamat mengambil fiqih (pemahaman hukum-hukum Islam) dari Al-Qur’an, hadits-hadits yang shahih, dan pendapat-pendapat imam mujtahidin yang sejalan dengan hadits shahih. Hal ini sesuai dengan wasiat mereka, yang menganjurkan agar para pengikutnya mengambil hadits shahih, dan meninggalkan setiap pendapat yang bertentangan dengannya.
Golongan Yang Selamat menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar.
Mereka melarang segala jalan bid’ah dan sekte-sekte yang menghancurkan serta memecah belah umat. Baik bid’ah dalam hal agama maupun dalam hal sunnah Rasul dan para sahabatnya.
Golongan Yang Selamat mengajak seluruh umat Islam agar berpegang teguh kepada sunnah Rasul dan para sahabatnya.
Sehingga mereka mendapatkan pertolongan dan masuk Surga atas anugerah Allah dan syafa’at Rasulullah dengan izin Allah.
Golongan Yang Selamat mengingkari peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh manusia apabila undang-undang tersebut bertentangan dengan ajaran Islam.Golongan Yang Selamat mengajak manusia berhukum kepada Kitabullah yang diturunkan Allah untuk kebahagiaan manusia di dunia dan di akhirat.
Allah Maha Mengetahui sesuatu yang lebih baik bagi mereka. Hukum-hukumNya abadi sepanjang masa, cocok dan relevan bagi penghuni bumi sepanjang zaman.Sungguh, sebab kesengsaraan dunia, kemerosotan, dan mundurnya khususnya dunia Islam, adalah karena mereka meninggalkan hukum-hukum Kitabullah dan sunnah Rasulullah. Umat Islam tidak akan jaya dan mulia kecuali dengan kembali kepada ajaran-ajaran Islam, baik secara pribadi, kelompok maupun secara pemerintahan. Kembali kepada hukum-hukum Kitabullah, sebagai realisasi dari firmanNya:“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (Ar-Ra’ad: 11)
Golongan Yang Selamat mengajak seluruh umat Islam berjihad di jalan Allah.
Jihad adalah wajib bagi setiap Muslim sesuai dengan kekuatan dan kemampuannya.
Jihad dapat dilakukan dengan:
Pertama, jihad dengan lisan dan tulisan: Mengajak umat Islam dan umat lainnya agar berpegang teguh dengan ajaran Islam yang shahih, tauhid yang murni dan bersih dari syirik yang ternyata banyak terdapat di negara-negara Islam. Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam telah memberitakan tentang hal yang akan menimpa umat Islam ini. Beliau bersabda:“Hari Kiamat belum akan tiba, sehingga kelompok-kelompok dari umatku mengikuti orang-orang musyrik dan sehingga kelompok-kelompok dari umatku menyembah berhala-berhala.” (Ha-dits shahih , riwayat Abu Daud, hadits yang semakna ada dalam riwayat Muslim)
Kedua, jihad dengan harta: Menginfakkan harta buat penyebaran dan peluasan ajaran Islam, mencetak buku-buku dakwah ke jalan yang benar, memberikan santunan kepada umat Islam yang masih lemah iman agar tetap memeluk agama Islam, memproduksi dan membeli senjata-senjata dan peralatan perang, memberikan bekal kepada para mujahidin, baik berupa ma-kanan, pakaian atau keperluan lain yang dibutuhkan.
Ketiga , jihad dengan jiwa:Bertempur dan ikut berpartisipasi di medan peperangan untuk kemenangan Islam. Agar kalimat Allah ( Laa ilaaha illallah) tetap jaya sedang kalimat orang-orang kafir (syirik) menjadi hina. Dalam hu-bungannya dengan ketiga perincian jihad di atas, Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam mengisyaratkan dalam sabdanya:“Perangilah orang-orang musyrik itu dengan harta, jiwa dan lisanmu.” (HR. Abu Daud, hadits shahih)
Adapun hukum jihad di jalan Allah adalah:
Pertama , fardhu ‘ain : Berupa perlawanan terhadap musuh-musuh yang melakukan agresi ke beberapa negara Islam wajib dihalau. Agresor-Agresor Yahudi misalnya, yang merampas tanah umat Islam di Palestina. Umat Islam yang memiliki kemampuan dan kekuatan jika berpangku tangan ikut berdosa, sampai orang-orang Yahudi terkutuk itu enyah dari wilayah Palestina. Mereka harus berupaya mengembalikan Masjidil Aqsha ke pangkuan umat Islam dengan kemampuan yang ada, baik dengan harta maupun jiwa.
Kedua, fardhu kifayah: Jika sebagian umat Islam telah ada yang melakukannya maka sebagian yang lain kewajibannya menjadi gugur. Seperti dakwah mengembangkan misi Islam ke negara-negara lain, sehingga berlaku hukum-hukum Islam di segenap penjuru dunia. Barangsiapa menghalangi jalan dakwah ini, ia harus diperangi, sehingga dakwah Islam dapat berjalan lancar. Wallahu ta’ala a’lam

Category: 0 komentar